Keberadaan KKMB sebenarnya sudah ada sejak
lama. Kiprahnya sebagai tenaga pendamping bagi pengusaha mikro, kecil dan menengah
sudah cukup dikenal. Di beberapa kalangan, nama KKMB lebih dikenal dengan
sebutan lain yang berbeda-beda sesuai dengan penugasan masing-masing, sebagai
contoh :
1. Kementerian teknis:
Penyuluh Pertanian Lapangan (Kementan), Business Development
Services (Kemenegkop), Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana
(BKKBN).
2. Swasta : konsultan UMKM
yang tergabung dalam suatu organisasi.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM)antara lain: Bina Swadaya, LP3ES, Altrabaku
4. Lembaga penelitian:
konsultan pendamping yang didirikan oleh perguruan tinggi.
Di dunia UMKM, meskipun keberadaan KKMB
sudah ada beberapa tahun yang lalu namun perannya dapat dikatakan belum cukup
menggembirakan. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan pendampingan terhadap
UMKM sering kali masih dilihat sebagai bisnis sosial sehingga lebih banyak
dilakukukan oleh LSM . Dalam dua proyek yang pernah ditangani oleh BI, yaitu
Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dan Proyek Kredit
Mikro (PKM), keberadaan LSM yang bertindak sebagai KKMB juga memiliki peran
yang berarti dalam membantu menyiapkan kelompok-kelompok usaha mikro dan kecil
untuk memperoleh kredit dari bank.
Dalam perkembangannya, keberadaan tenaga
pendamping yang bersifat sosial ini menghadapi masalah dalam hal
keberlanjutannya. Hal tersebut disebabkan keberadaan mereka lebih dikarenakan
adanya proyek yang sedang dijalankan oleh Pemerintah sehingga bila proyek
tersebut berakhir maka berakhir pula kegiatan pendampingannya. Padahal di sisi
lain potensi UMKM yang belum digarap oleh perbankan masih tinggi. Tidak hanya
itu, UMKM tersebut juga masih membutuhkan tenaga pendamping sebagai jembatan
mereka untuk bisa akses kepada perbankan.
Adanya kebutuhan akan KKMB dan kendala
pembiayaan kepada mereka mendorong pemikiran agar kegiatan pendampingan
tersebut dikelola secara profesional. Dalam setiap kegiatan pendampingan yang
diterima oleh UMKM maka tenaga pendamping akan memperoleh sejumlah fee dari
UMKM atau perbankan yang menggunakan jasa mereka. Fee inilah yang digunakan
untuk membiayai kegiatan operasional pendampingan. Dalam rangka meningkatkan
profesionalitas tenaga pendamping agar mampu berhubungan dengan perbankan maka
diperlukan penambahan kompetensi terutama di aspek keuangan. Dilatarbelakangi
hal tersebut maka pada tanggal 22 Februari 2003 Bank Indonesia menandatangani
Kesepakatan Bersama dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan mengenai
Pembentukan Konsultan Keuangan Mitra Bank.
Peran KKMB dapat dilihat dari jumlah UMKM yang dapat dihubungkan
ke bank dan nilai kreditnya. Jumlah kredit yang disalurkan terhadap UMKM binaan
KKMB tahun 2010 (data sementara) mencapai sekitar 7.935 UMKM, menurun
dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 17.673 UMKM. Namun demikian, bila
ditinjau dari nilai kredit yang disalurkan meningkat dari tahun 2009 ke 2010
(data sementara) masing-masing Rp.290 miliar dan sekitar Rp. 384 miliar.
Sampai dengan posisi Desember 2010, baki debet kredit UMKM
mencapai Rp 960,6 trilun dengan total debitur sekitar 30,2 juta rekening. Jika
dibandingkan dengan jumlah UMKM yang mencapai 52,8 juta (BPS dan Kemenkop UKM,
2010) maka baru sekitar 57,2% yang terlayani atau masih terdapat
potensial gap UMKM sebanyak 42,8% yang belum terlayani.
Jika digali lebih dalam lagi, untuk sektor ekonomi terbesar yang
diberikan adalah sektor perdagangan sekitar 21,5%. Sementara untuk sektor
ekonomi lainnya belum banyak digali dan pangsanya rata-rata dibawah 6%. Hal ini
memberikan gambaran bahwa sektor ekonomi yang lain belum optimal digali oleh
perbankan. Dengan memperhatikan kondisi di atas, dapat terlihat bahwa bank
memiliki keterbatasan untuk menjangkau nasabah UMKM baru atau menggali
sektor-sektor ekonomi potensial lainnya. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya
asimetric information. Perbankan tidak memiliki cukup informasi mengenai
keberadaan atau lokasi dari UMKM-UMKM yang potensial untuk dibiayai. Di sisi
lain, dengan berbagai alasan UMKM yang potensial juga tidak mampu
mempromosikan keberadaan mereka terhadap perbankan.
Dengan melihat keterbatasan di atas maka pasar bagi KKMB masih
terbuka sangat luas. KKMB dengan keberadaanya mampu membantu perbankan untuk
menemukan calon nasabah UMKM baru yang produktif dan sektor usaha yang
potensial untuk dibiayai perbankan. Dalam hal ini, tentunya UMKM tersebut sudah
diupgrade terlebih dahulu oleh KKMB agar naik kelas dari feasible menjadi
bankable. Dalam proses meng-upgrade inilah KKMB perlu diberikan pelatihan dan
standarisasi pengetahuan- serta dijaga kompetensinya.
Disamping upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
mengembangkan KKMB, berdasarkan pengamatan terdapat beberapa hambatan internal
dalam KKMB yang perlu disadari agar mereka mampu berkembang dengan baik, yakni
:
- Rasa percaya diri, terutama ketika mereka membawa calon nasabah ke bank. Kondisi ini terjadi karena KKMB tidak begitu mengerti atau belum memahami usaha yang dijalankan oleh KKMB.
- Kegiatan KKMB hanya merupakan pekerjaan sampingan. Hal ini berdampak dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatannya kurang fokus dan optimal.
- Terdapat persepsi yang salah mengenai tidak lanjut pelatihan. Banyak peserta pelatihan KKMB berpikir bahwa selesai pelatihan mereka akan diangkat menjadi pegawai atau proyek akan datang dengan sendirinya. Pada umumnya mereka belum memiliki sense bahwa kegiatan KKMB adalah suatu bisnis yang harus dikelola dengan serius seperti bisnis lainnya.
Hambatan ini merupakan tantangan terbesar dan secara langsung
menjadi alat seleksi bagi KKMB yang tangguh untuk tetap eksis dan berkembang.
Dalam upaya mendorong eksistensi KKMB tersebut, Bank Indonesia
dalam kerangka Bantuan Teknis memberikan pelatihan dasar dengan target khusus
kepada KKMB dengan materi fokus pada aspek keuangan dan perbankan. Sementara
untuk meningkatkan dan menstandarisasi pengetahuannya, didirikan beberapa
lembaga di Jakarta (Peac Monas), Surabaya (Peac Bromo), Semarang (Peac
Borobudur), Bandung (P3UKM), Makassar (LPUMKM) dan Banjarmasin (LPUMKM).
Selain itu Bank Indonesia menginisiasi pendirian Satgasda KKMB di berbagai
provinsi yang beranggotakan Pemerintah Daerah, Perbankan dan Bank Indonesia
setempat. Satgasda ini juga bertugas memberikan pelatihan dan menjadi sarana
untuk memperkenalkan KKMB kepada perbankan setempat.
Selama tahun 2009, BI telah memberikan
pelatihan kepada KKMB sebanyak 1878 peserta dan pada tahun 2010 (data
sementara) telah diberikan kepada sekitar 1220 peserta yang tersebar hampir di
seluruh Kantor Bank Indonesia (KBI). Dalam hal memerlukan informasi lebih
lanjut tentang KKMB dapat menghubungi KBI setempat
0 komentar
Post a Comment